Sejarah Lambang NU
SEJARAH LAMBANG NU
Nahdlatul Ulama atau NU adalah organisasi keislaman terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Tahukah Anda bagaimana sejarah terbentuk logo NU? Mari simak tulisan dari KH. M. Ma’ruf Khozin berikut ini.
Kiai Ridlwan menyebut indikator kedua tentang lambang NU.
Setelah malam didirikan, para kiai meminta Kiai Ridlwan membuat lambang NU.
Mengapa Kiai Ridlwan yang ditunjuk?
Cucu beliau, Gus Saiful Halim menceritakan bahwa setelah
mondok di Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Ridlwan pernah bekerja di rumah
orang Belanda. Pemilik rumah tersebut adalah pelukis. Suatu ketika tanpa
disengaja Kiai Ridlwan menumpahkan tinta di kanvas lukisannya. Kiai Ridlwan
gugup dan sedih, namun beliau memberanikan diri memperbaiki lukisan tersebut
sebisa beliau. Dan ternyata si tuan Belanda tersebut tidak marah karena hasil
lukisan Kiai Ridlwan bagus. Maka sejak itulah bakat seni melukis Kiai Ridlwan
terlihat.
Para Kiai memberi syarat kriteria lambang NU. Hadlratusy
Syaikh KH Hasyim Asyari dawuh: “Membuat lambang NU harus:
1. Tidak meniru lambang lain;
2. Lambang tersebut harus punya Haibah, tidak membosankan
sampai kapan pun”.
Jangan kita anggap mudah di masa itu dengan membandingkannya
di masa digital sekarang. Syarat pertama tadi karena sebelum berdirinya NU
sudah ada Muhammadiyah dan Persis, lambang keduanya memiliki kesamaan. Lambang
NU tidak boleh meniru.
Beberapa lambang telah beliau buat, beliau ajukan ke
beberapa kiai, selalu ditolak dan tidak diterima. Seolah beliau sudah habis
inspirasinya, maka beliau salat Istikharah meminta petunjuk kepada Allah, maka
pada jam 3 sebelum Subuh setelah beliau merebahkan tubuh, beliau bermimpi ada
bumi yang dikelilingi 9 bintang. Beliau langsung terperanjat dan menulisnya
secara sederhana di atas kertas. Setelah salat Subuh beliau sempurnakan gambar
tersebut.
Paginya, beliau menghaturkan kepada beberapa Kiai, termasuk
Rais Akbar. Hampir semua kiai bertanya kepada Kiai Ridlwan: “Gambar ini buatan
sampean sendiri?”. Kiai Ridlwan menjawab: “Bukan Kiai, hasil Istikharah”. Di
lain pihak, Kiai Nawawi Sidogiri juga mendapat Istikharah Surat Ali Imran 103,
yaitu Tali Allah, yang oleh Kiai Wahab diilustrasikan dengan 2 tali terikat di
bawah. Maka saat Congres pertama di Peneleh Surabaya lambang NU telah sempurna
(Gambar bawah berwarna hijau tua dan kecoklatan)
Pada syarat kedua kita menyaksikan hingga kini, lambang NU
selalu sedap dipandang dan dipajang, dengan model apapun. Luar biasa para
pendiri NU.
Saya bangga menjadi NU
Kisah ini disampaikan oleh Gus Solahuddin Azmi putra Kiai
Mujib putra Kiai Ridlwan.
Kisah dari sumber lain :
Pelukis berbakat alam yaitu KH Ridwan Abdullah, bersama
Wahab Chasbullah dan Mas Abdul Aziz, adalah trio yang berjasa kepada NU.
Kenapa demikian?
Malam itu Ridwan Abdullah (63 tahun) tertidur nyenyak di
pembaringannya. Sebelum tidur, ia telah melaksanakan shalat istikharah, minta
petunjuk Allah. Kakek sekian cucu itu terdesak waktu. Hasil karyanya ditunggu
untuk dikibarkan di forum muktamar kedua Nahdlatul Ulama (NU) di salah satu
hotel di Surabaya dua hari lagi. Padahal, ia telah menyanggupi sejak dua bulan
sebelumnya, ketua panitia muktamar, K.H. Wahab Chasbullah, juga telah
mengingatkan dirinya. Entah kenapa ilham untuk menciptakan lambang jam & rsquo;iyyah
ulama yang baru didirikan oleh Hadhratusy Syaikh K. H. Hasyim Asy’ari tahun
lalu itu sulit didapat. Masalahnya, dia juga tidak mau sembarangan. Itu karena
jam’iyyah ulama tersebut merupakan organisasi yang menghimpun ahli agama,
sehingga lambangnya juga harus mencitrakan keberadaan, kepaduan, kesungguhan,
dan citacita yang ingin dicapai. Keinginan yang begitu luhur itu terus didesak
waktu.
Ketika malam telah larut dan Ridwan Abdullah terbuai
tertidur nyenyak di keheningan malam, dia mimpi melihat gambar di langit biru.
Ketika terbangun, jam dinding menunjuk angka dua. Segera diambilnya kertas dan
pinsil dan ditorehkannya gambar mimpi itu dalam bentuk sketsa. Akhirnya,
coretan itu pun selesai. Pada pagi harinya, sketsa itu disempurnakan lengkap dengan
tulisan NU, huruf Arab dan Latin. Hanya dalam waktu satu hari, lambang itu
selesai, sempurna wujudnya seperti yang kita kenal sampai hari ini. Maklum,
kiai Ridwan memang dikenal sebagai ulama yang punya keahlian melukis. Itulah
sebabnya K.H. Wahab Chasbullah menugasinya membuat lambang jam & rsquo;
iyyah tersebut. Namun, untuk merepresentasikannya di atsa kain, dia kesulitan
mencari bahan yang pas. Saking percaya kepada mimpinya, Ridwan juga berusaha
mencari warna yang tepat dengan yang dilihatnya di mimpi. Namun, tidak mudah
menemukan warna seperti itu. Beberapa toko kain di Surabaya yang didatangi
tidak punya persediaan kain seperti itu.
Akhirnya, di Malang kain itu ditemukan. Itu pun Cuma
selembar, berukuran 4 meter x 6 meter. ‘Tak apalah,” pikirnya. Maka, di atas
kain warna hijau ukuran 4 x 6 itulah, lambang NU pertama kali ditorehkan oleh
pelukisnya, K.H. Ridwan Abdullah. Besoknya, 9 Oktober 1927, lambang itu
dipancang di pintu gerbang Hotel Paneleh, Surabaya, tempat berlangsungnya
muktamar NU kedua. Hal itu memang disengaja untuk memancing perhatian warga
Surabaya, baik terhadap lambangnya maupun kegiatan muktamar itu sendiri.
Maklum, segalanya masih baru bagi masyarakat. Umpan itu mengena. Pejabat yang
mewakili pemerintah Hindia Belanda datang dari Jakarta. Saat mengikuti upacara
pembukaan, dia dibuat terpana dan penasaran demi melihat lambang tersebut. Dia
lantas bertanya kepada Bupati Surabaya yang berdiri di sampingnya. Karena sang
Bupati tidak bisa menjawab, pertanyaan itu diteruskan kepada shahibul bait, H.
Hasan Gipo. Ternyata yang punya gawe pun sama saja: tak tahu menahu! Dia hanya
bisa mengatakan bahwa lambang itu dibuat oleh H. Ridwan Abdullah.
Selanjutnya, dituliskan dalam buku Karisma Ulama, bahwa
untuk menjawab tekateki makna lambang NU itu dibentuk mahelis khusus. Beberapa
wakil dari pemerintah dan para kiai dilibatkan dalam forum tersebut, termasuk
Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Di depan forum tersebut, K.H. Ridwan Abdullah
memberikan presentasi untuk pertama kali. Dalam penjelasannya, Kiai Ridwan
menguraikan bahwa tali ini melambangkan agama sesuai dengan firman
Allah ;Berpeganglah kepada tali Allah, dan jangan bercerai berai ;
(Q.s. Ali Imran: 103). Posisi tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah
(persatuan) kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali berjumlah 99 melambangkan
asmaul husna. Bintang sembilan melambangkan Wali Sanga. Bintang besar yang
berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad Saw. Empat bintang
kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafa’ Ar-Rasyidin. Empat
bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba’ah (madzhab yang
empat). Walhasil, seluruh peserta majelis sepakat, menerima lambang itu dan
membuat rekomendasi agar muktamar kedua memutuskan lambang yang diciptakan oleh
Kiai Ridwan tersebut menjadi lambang NU. Kiai Raden Muhammad Adnan, utusan dari
Solo, kemudian merumuskan uraian Kiai Ridwan tadi pada acara penutupan muktamar
dengan mengatakan:
“Lambang bola dunia berarti lambang persatuan kaum muslimin
seluruh dunia, diikat oleh agama Allah, meneruskan perjuangan Wali Sanga yang
sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad dan Khulafa’ Ar-Rasyidin, yang dibingkai
dalam kerangka madzhab empat”. Kelak, 27 tahun kemudian, pada 1954, Kiai Ridwan
mengulangi presentasinya itu, namun dalam bentuk utuh. Hal itu terjadi pada
muktamar ke-20 NU di Surabaya. Lambang dunia, yang dibikin bulat seperti bola
hingga dapat diputar, diletakkan di medan muktamar, yaitu di depan Taman
Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Bakat Alam Kiai Ridwan Abdullah lahir di Kampung
Carikan Gang I, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, pada
tahun 1884. pendidikan dasarnya diperoleh di sekolah Belanda. Agaknya di
situlah, dia mendapatkan pengetahuan teknik dasar menggambar dan melukis. Dia
tergolong murid yang pintar, sehingga ada orang Belanda yang ingin
mengadopsinya. Belum selesai sekolah di situ, orangtuanyan kemudian mengirimnya
ke Pesantren Buntet di Cirebon. Ayah Kiai Ridwan, Abdullah, memang berasal dari
Cirebon, Ridwan adalah anak bungsu. Dari Buntet, Ridwan masih mengembara
mencari ilmu ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, dan Pesantren Bangkalan,
Madura, asuhan Kiai Cholil. Di Pesantren terakhir itulah, Ridwan menimba ilmu
cukup lama dibanding yang di tempat lain. Sebagai kiai, Ridwan lebih banyak bergerak
di dalam kota. Dalam beberapa hal, dia tidak sependapat dengan kiai yang
tinggal di pedesaan. Misalnya, sementara kiai di pedesaan mengaharamkan
kepiting, ia justru menghalalkan. Ia dapat dikategorikan sebagai kiai
inteletual. Pergaulannya dengan tokoh nasionalis seperti Bung Karno, dr.
Sutomo, dan H.O.S Tjokroaminoto cukup erat. Apalagi, tempat tinggal mereka
tidak berjauhan dengan rumahnya, di Bubutan Gang IV/20. karena tidak punya
pesantren, ia sering megadakan dakwah keliling, terutama pada malam hari, yaitu
di kampung Kawatan, Tembok, dan Sawahan. Sebelum NU berdiri, Kiai Ridwan
mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan – lembaga pendidikan yang didirikan oleh
Kiai Wahab Chasbullah pada tahun 1916 – dan terlibat dalam kelompok diskusi
Tashwirul Afkar (1918), dua lembaga yang menjadi embrio lahirnya organisasi NU.
Ketika NU sudah diresmikan, ia aktif di Cabang Surabaya dan mewakilinya dalam
muktamar ke-13 NU di Menes, Pandeglang, pada tanggal 15 Juni 1938. Dalam
kehidupan rumah tangga, Kiai Ridwan menikah dua kali. Pernikahan pertama
terjadi pada tahun 1910 dengan Makiyyah. Setelah dikaruniai tiga anak, sang
istri meninggal dunia. Yang kedua dengan Siti Aisyah, gadis Bangil, yang
dicomblangi oleh sahabatnya, Kiai Wahab Chasbullah.
Kiai Ridwan wafat 1962, pada umur 78 tahun, dimakamkan di
Pemakaman Tembok, Surabaya. Kiai Wahab Chasbullah (pendiri NU), K.H. Mas Alwi
Abdul Aziz (pencipta nama NU), dan K.H. Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU)
dikenal sebagai tiga serangkai NU.
Sumber: Majalah Al-Kisah No. 03-Tahun VI 28 Januari-10
Februari 2008 seperti ditulis di http://zulfanioey.blogspot.com
=