Biografi KH. Ma’shum Ahmad
12 menit dibaca
KELUARGA KH.
MA’SHUM AHMAD
Kelahiran dan keluarga Mbah Ma’shum
Nama asli yang di berikan orang tuanya adalah muhammadun.
Dia lahir di perkirakan sekitar tahun 1290 H, atau 1870 M, di lasem. Tahun
kelahiran itu di sebut tahun perkiraan, sebab tidak ada seorangpun yang tahu
pasti tahun berapa beliau di lahirkan.
Ayah mbah ma’shum bernama Ahmad, dia seorang yang mempunyai
visi keagamaan tinggi. Sehari-hari, beliau berprofesi di bidang perdagangan,
hanya saja kurang bisa dipastikan apakah mbah Ahmad adalah pedagang tingkat
atas, menengah, atau bawah. Yang jelas, jika kita melihat kisah yang
disampaikan kiai Mas’adi bin Nawawi (kajen, pati) bisa diyakini jika mbah Ahmad
merupakan pedagang atau pebisnis, setidaknya tingkat menengah.
Tampaknya, beliau termasuk pedagang yang cukup kreatif,
selain status nya yang pebisnis, bisa diyakini juga bahwa ayah mbah ma’shum itu
merupakan seseorang yang memiliki visi keagamaan yang cukup, dengan argumentasi
bahwa beliau menyerahkan pendidikan keagamaan mbah Ma’shum sewaktu kecil kepada
kiai Nawawi (jepara). Minimal, dari kenyataan ini dapt di simpulkan bahwa mbah
Ahmad memilki atensi atas wawasan keagamaan mbah Ma’shum. Dan dari mbah Ahmad
itu, visi-visi dan wawasan keagamaan mbah Ma’shum di tanamkan. Demikian juga
dengan praktik keseharian mbah Ahmad, sebagai bisnis, yang di kemudian hari
juga mengalir dalam darah mbah Ma’shum. Sedangkan nama ibu mbah Ma’shum adalah
Qosimah.
Pasangan mbah Ahmad dan mbah Qosimah di karuniai 3 orang
anak, dua orang putri dan seorang putra. Mereka adalah Nyai Zainab, Nyai
Malichah dan mbah Ma’shum. Ketiga putra-putri mbah Ahmad itu lahir, hidup dan
wafat di lasem.
Guru-Guru Mbah Ma’shum
Sejak kecil hingga menginjak masa dewasa, mbah Ma’shum
menimba banyak pengetahuan dari berbagai kiai, baik di lasem maupun di luar
lasem seperti jepara, kajen, kudus, sarang, solo, semarang, Jombang, madura,
hingga ke makkah. Dari rumah ke rumah, kampung ke kampung, sudah sewajarnya
seorang pecinta ilmu akan selalu mengejar ke mana ilmu itu berada. Demikian
halnya dengan mbah Ma’shum. Dia pun belajar kepada banyak kiai.
Menurut kiai Maimun Zubair dalm bukunya, mbah Ma’shum pernah
mengaji kepada kiai Nawawi (jepara), kiai Ridhwan (semarang), kiai Umar Harun
(sarang), kiai Idris (solo), kiai Dimyati (termas), serta kepada kiai Hasyim
Asy’ari dan kiai Kholil bangkalan. Masih menurut catatan kiai Maimun Zubair,
Mbah Ma’shum juga pernah belajar kepada kiai Dimyati At-Turmusi di Termas.
Lalu, melanjutkan belajarnya ke makkah, dengan mengaji kepada kiai Mahfudz
At-Turmusi (w. 1338 H/1919 M). Keberangkatan beliau ke makkah ini menyiratkan
suatu informasi yang mendukung dugaan bahwa kelurga mbah Ma’shum adalah
keluarga yang memiliki tradisi keislaman yang mapan dan keluarga mbah Ma’shum
memiliki status ekonomi tertentu yang dapat mengantarkannya ke pendidikan
tertinggi.
Pernikahan dan putra-putri Mbah Ma’shum
Mbah ma’shum menikah untuk pertama kali dengan seorang
perempuan dari desa sumber Girang, lasem. Istri mbah Ma’shum yang pertama itu
wafat di Arab Saudi ketika melaksanakan haji bersama mbah Ma’shum. Mbah Ma’shum
memiliki seorang putra dari istri pertama yang selalu di ajak ke manapun dia
pergi, untuk berdagang, terkadang ke daerah salatiga, solo, terkadang ke daerah
kediri.
Setelah wafatnya nyai pertama itu, beliau menduda untuk
jangka waktu yang agak lama. Pada usia 36 tahun, tepatnya tahun 1323 H/1906 M,
beliau menikah untuk kali kedua, yaitu dengan mbah Nuriyah binti KH. Zainuddin
bin KH. Ibrahim bin KH. Abdul latif bin mbah joyotirto bin mbah Abdul halim bin
mbah sambu. Ibu mbah Nuriyah bernama Nyai Mashfuriyah bin KH Abdul Aziz bin KH
Abdul latif bin mbah joyotirto bin mba joyotirto bin mbah Abdul halim bin mbah
Sambu.
Mbah Nuriyah yang terkenal dengan panggilan mbah Nuri lahir
pada tahun 1312 H/1895 M. Dari sini dapat di ketahui bahwa sewaktu menikah
dengan mbah Ma’shum, mbah Nuri berusia 11 tahun, sedangkan mbah Ma’shum berusia
36 tahun. Akan tetapi, dia berkumpul atau tinggal serumah dengan mbah Ma’shum
pada usia 14 tahun. Baik mbah Ma’shum maupun Mbah Nuri sama-sama berasal dari
kelurga terdidik dan berpengetahuan islam. Jika mbah Ma’shum belajar pendidikan
agama kepada orang tuanya dan kepada para kiai, mbah Nuri cukup belajar dari
orang tua saja. Maklum, waktu itu belum banyak perempuan yang belajar ke luar
rumah atau ke luar kota. Bahkan bisa dikatakan hal tersebut sangat jarang
sekali. Perempuan belajar di pesantren, baik dalam bentuk menginap atau di
asramakan, justru di mulai oleh pendidikan yang di jalankan oleh mbah Ma’shum
dan mbah Nuri, setidaknya untuk level daerah lasem, rembang atau jawa tengah.
Hal yang pasti adalah bahwa mbah Nuri, setelah menikah mengaji kepada mbah
Ma’shum sejumlah pelajaran, hingga dia memiliki wawasan yang lebih dalam hal
ilmu tafsir. Dari pernikahan mbah Ma’shum dengan mbah Nuri ini, Allah
memberikan mereka berdua putra-putri yang berjumlah 13 orang, 8 di antaranya
wafat ketika masih kecil.
Sebagai seorang kiai, mbah Ma’shum memberikan bekal-bekal
keagamaan secara dini kepada para putra-putrinya, s bagaimana beliau
mendapatkan bekal dari kedua orang tuanya. Semua pengetahuan putra-putrinya,
baik pelajaran Al-Qur’an maupun kitab kuning, di awali dari pengajaran dia.
Setelah menginjak dewasa, para putranya itu mengaji kepada kiai lain di
berbagai tempat.
Ali, putra pertama mbah Ma’shum, lahir pada 2 maret 1915 M.
Menikah dengan Hasyimah binti mbah Munawwir, pendiri dan pengasuh pesantrean
Krapyak, Yogyakarta. Kisah pernikahan ini berawal saat mbah Ma’shum dan mbah
Munawwir berdiskusi tentang bagaimana mengembangkan wawasan-wawasan yang ada
dalam kitab kuning di pesantren krapyak yang kini di kenal dengan nama
pesantren Al-Munawwir. Wawasan kitab kuning di perlukan di pesantren ini karena
selama ini pesantren tersebut memfokuskan pengajiannya kepada hafalan
Al-Qur’an.
Dari diskusi itu, mbah Munawwir minta kepada mbah Ma’shum
supaya di beri “bibit” untuk mengomandani pengembangan ilmu-ilmu kitab kuning
tersebut. Dan di sepakatilah rencana untuk berbesanan antara keduanya. Mbah
Ma’shum dan mbah Munawwir sendiri sebelumnya telah mengenal satu sama lain saat
keduanya sama-sama belajar di pesantren jamsaren solo dan juga di pesantren
bangkalan Madura.
Putra mbah Ma’shum yang kedua adalah Fatimah, lahir pada
tahun 1918 M. Dia menikah kali pertama dengan kiai Thohir bin kiai Nawawi,
kajen, pati. Keduanya berpisah, dan dia menikah lagi dengan kiai Muhammad bin
kiai Amir, simbang, pekalongan. Mereka berpisah, dan akhirnya dia menikah
dengan kiai maftuhin bin Masyhuri, dari jepara. Pasangan ini adalah pendiri
pesantren Al-Fath, Ngemplak lasem. Kiai Maftuhin wafat pada tahun 1401 H/1981
M, sedangakan Nyai Fatimah wafat pada tahun 1417 H/1996 M.
Putra ketiga mbah Ma’shum adalah Ahmad Syakir, lahir pada
tahun 1338 H/1920 M. Setelah melewati pendidikan dasar di keluarga, dia mengaji
kepada Kiai Dimyati Termas, Kiai Abbas cirebon, kiai Dalhar watucongol dan Kiai
Munawwir Krapyak. Dia menikah dengan Faizah binti Ahmad musthofa, dari
tegalsari solo, pada tahun 1944. Nyai Faizah ini adalah penghafal Al-Qur’an
sekaligus ahli tafsir terbaik yang ada di lasem, dia melanjutkan perjuangan
mbah Ma’shum dengan cara mengasuh pesantren Al-Hidayat, sepeninggal Kiai Ahmad
syakir, bagian Tahfidzul Qur’an.
Putra keempat hingga ketujuh adalah bernama Zainuddin,in,
sholichah, Aba Qasim, serta Asmu’i. Mereka wafat ketika masih kecil, sedangkan
yang kedelapan adalah ibu Nyai Azizah, lahir pada tahun 1348 H/1930 M, dan kini
masih mengasuh pesantren Al-Hidayat, dia menikah dengan KH. Makmur, lasem dan
berpisah, lalu menikah dengan KH. Ali Nu’man dan tidak punya putra.
Yang kesembilan adalah ibu Nyai Hamnah, lahir pada tahun
1351 H/1932 M, dan tinggal di kota Demak, suaminya KH. Sa’dullah Taslim, adalah
alumni pesantren Al-Hidayat, dan kini mengasuh pesantren At-Taslim, Demak.
Putra Mbah Ma’shum yang kesepuluh hingga ketiga belas adalah salamah, muznah,
sa’adah, dan Abdul jalal. Mereka wafat ketika masih kecil.
PETUALANGAN SANG
PEDAGANG
Mbah Ma’shum telah melanglang ke berbagai tempat
selama beberapa tahun dalam rangka mencari ilmu, nyaris seluruh ulama’ yang
memiliki torehan sejarah indah dalam kajian keislaman di datangi dan kepada
mereka beliau menyatakan diri sebagai murid. Setelah kenyang menuntut ilmu mbah
Ma’shum memasuki dunia baru, yakni berumah tangga, untuk menghidupi
keluarganya, mbah Ma’shum mengikuti profesi orang tuanya sebagai pedagang.
Perdagangannya tidak hanya di lasem saja, melainkan hingga ke pasar ploso
jombang. Selain berdagang beliau juga pernah bekerja di tempat pembakaran dan
pembuatan batu bara (putih) yang berada di daerah selatan babat, di desa
suwireh, sebelah utara daerah ngimbang.
Dalam kehidupannya beliau adalah orang yang sangat
sederhana, tidak banyak keinginan duniawi yang hendak beliau raih, beliau tidak
pernah memiliki sarung hingga lebih dari 3 bij. Soal makanan beliau juga
demikian, bagi beliau soal makanan, yang penting nasinya hangat, itu sudah cukup.
Beliau tidak memiliki kriteria soal lauk, akan tetapi beliau paling suka dengan
sambal petis, beliau juga tidak pernah menggunakan sendok, apa lagi garpu
ketika makan.
Sambil berdagang, mbah Ma’shum juga mengajar ilmu
pengetahuan agama kepada orang-orang di sekitar sana, yang bertempat di pasar
ploso, jombang. Kenyataan ini menunjukkan pada beberapa hal, antara lain:
betapa kuatnya magnet keilmuan yang bersangkutan terhadap masyarakat; betapa
masyarakat membutuhkan pencerahan (keagamaan) kepada yang bersangkutan. Inti
dari gambaran tersebut adalah adanya dependensi masyarakat kepada kiai,
khususnya dalam masalah keagamaan. Semua yang beliau lakukan tersebut adalah
kenyataan sejarah yang menyejukkan, juga keteladanan yang patut di kembangkan.
Selain berdagang dan mengajar di masjid dekat pasar ploso
itu, secara periodik mbah Ma’shum juga sering berkunjung ke Tebuireng untuk
mengaji kepada kiai Hasyim Asy’ari, yang lahir pada tahun 1871 M, namun hal ini
bukan menjadi masalah bagi beliau. Dan inilah yang secara khusus ciri khas
beliau yang paling menonjol, yaitu suka mengaji dan belajar kepada orang lain
sekalipun beliau telah “menjadi” kiai dan orang yang beliau datangi terkadang
berusia lebih muda.
MENDIRIKAN
PESANTREN DAN MENGURUS SANTRI
Berawal dari mimpi
Mbah Ma’shum bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad,
dan mendapatkan nasihat supaya meninggalkan perdagangan serta berganti
mengajar. Mimpinya bertemu dengan Kanjeng Nabi itu terjadi selama beberapa
kali.
Suatu saat, beliau sedang berada di sebuah tempat di
semarang, kala tidur beliau mimipi bertemu dengan kanjeng Nabi Muhammad, saat
itu juga beliau bangun dan berfikir bahwa tempat beliau menginap itu bukanlah
tempat yangmuhtarom, beliau memang belum sepenuhnya percaya bahwa yang ada
dalam mimpi beliau adalah kanjeng Nabi, tetapi beliau sangat menyadari bahwa
semua nasihat yang ada dalam mimpi itu benar, tepat dan sesuai realitas.
Mbah Ma’shum juga pernah bermimipi di mushola depan ndalem
dan sempat bersalaman dengan Nabi, setelah bangun tangan beliau masih bau
wangi, pada saat itu Kanjeng Nabi sedang membawa list sumbangan untuk
pembangunan pondok pesantren. Kanjeng Nabi waktu itu berpesan:mengajarlah...,
dan segala kebutuhan insya Allah akan di penuhi semuanya oleh Allah. Akhirnya
beliaupun membangun sebuah tempat sebagai pusat pendidikan yang berdiri pada
tahun 1334 H/1916 M, dalam bentuk mushola beberapa ruang sederhana untuk para
santri dan akhirnya beliau memberi nama pondok pesantren Al-Hidayat. Pada
awal-awal mengasuh pesantren mbah Ma’shum pernah mengalami masa mendidik santri
waktu itu berjumlah sekitar 26 santri.
Metode Mbah Ma’shum dalam mendidik santri
Soal memberikan perhatian kepada santri, mbah ma’shum ini
adalah satu dari sekian tokoh yang memiliki perhatian sangat besar. Atensi mbah
Ma’shum kepada para santrinya sangat istimewa, figur beliau mencerminkan
seorang guru sekaligus orang tua. Mulai ketika santri datang ke pondok, masa
belajar, hingga santri kembali ke masyarakat pun selalu mendapatkan atensi dari
beliau. Di mata santri-santrinya, mbah Ma’shum adalah orang yang sangat
istiqomah dalam mendidik santri, mulai dari membangunkan tidur, memimpin
jama’ah hingga melaksanakan pengajian-pengajian.
Bukti lain tentang betapa besar perhatiannya kepada santri
adalah saat beliau mendapati seorang santri sedang membaca kitab kuning, maka
beliau menyempatkan diri untuk mendengarkannya, hal ini tidak lain untuk
memberikan semangat kepada santri, dengan cara memberikan koreksi. Ada satu hal
yang dimiliki oleh mbah Ma’shum dalam mendidik santri-santrinya, bahwa beliau
tidak memberlakukan pengajian dengan model kelas. Beliau memberlakukan
pengajian umum kepada para santrinya. Cara pengajaran yang beliau lakukan
adalah sistem bandongan dan sorogan. Sistem bandonganadalah
pengajian umum atau terbuka yang diikuti oleh seluruh santri, sedangkan sorogan adalah
sebuah sistem dimana seorang santri membaca kitab kuning satu persatu di
hadapan kiai.
PERAN KEBANGSAAN
DAN NASIONALISME
Berjuang bersama NU
Mbah Ma’shum yang tekun dan konsisten
dalam bidang pendidikan umat membawa beliau kedalam golongan atau jama’ah
ulama’-ulama’ agung. Dari realitas ini sangat pantas jika sejarah mencatat
bahwa mbah Ma’shum juga berperan didalam pendirian organisasi NU.
Beliau sangat mencintai jam’iyah NU. Bahkan terlalu
cintanya, beliau pernah menyatakan bahwa dirinya tidak ridho jika anak
keturunannya tidak NU. Beliau juga pernah mengatakan bahwa siapa saja yang
berkhidmah kepada NU, Insya Allah akan mendapatkan berkah dari Allah.
HUBUNGAN
KEMANUSIAAN
Atensi Mbah Ma’shum kepada umat
Mbah Ma’shum adalah adalah orang yang bisa di katakan
sempurna dan utuh, maksud sempurna dan utuh di sini adalah beliau mampu
menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada zamannya. Misalnya masyarakat
memerlukan bimbingan perihal politik maka mbah Ma’shum dengan apa adanya turut
pula memiliki kepedulian politik.
Mbah Ma’shum adalah orang yang senantiasa memberikan
pelajaran keagamaan dimana saja berada, bahkan dalam perjalanan bepergian, baik
di bis atau di terminal. Mbah Ma’shum juga menjadi orang yang
memiliki kewibawaan tinggi dalam komunitas Thariqah, beliau aktif
menghadiri acara-acara perkumpulan Thariqah seperti muktamar.
Hal lainnya lagi adalah keistiqomahannya yang tidak hanya
dalam hal mendidik santri, tetapi juga misalnya menjalin silaturrahim, bentuk
jalinan silaturrahim tersebut tidak hanya di peruntukkan kepada orang-orang
islam saja, melainkan juga kalangan non-muslim.
KONTEKSTUALITAS
PEMIKIRAN
Perubahan-perubahan pandangan fiqh
Ditinjau dari persepektif tertentu, pemikiran mbah Ma’shum
tidak berbeda dengan pemikiran para kiai pada umumnya, sangat teguh memegang
syari’at dan secara spesifik fiqh syafi’i. Beliau bisa saja mempraktikkan fiqh
hanafi, misalnya karena beliau juga menguasainya. Akan tetapi hal itu tidak di
lakukan dan lebih tertarik untuk mengembangkan pemikiran fiqh syafi’i. Hal itu
terjadi pada kasus mahramiyah, dimana beliau sering
menikahkan seseorang dengan kerabatnya supaya menjadi mahram dengan dirinya.
Gagasan ini muncul seiring kebiasaan bersalaman atau bertemunya laki-laki
dengan perempuan yang bukan mahram.
Ulama’ NU, pada muktamar ke-10 tahun 1935 di surakarta,
memfatwakan bahwasannya hukum mendengarkan radio sama dengan hukum mendengarkan
suara aslinya. Artinya jika suara aslinya adalah suara yang di perbolehkan maka
hukumnya pun boleh. Tetapi, jika yang di dengarkan adalah suara-suara yang
mengajak untuk kemaksiatan, seperti lagu-lagu kemaksiatan misalnya maka hal
tersebut tidak di perbolehkan.
Mbah Ma’shum pada waktu itu tidak main-main dalam
mengharamkan radio. Di ceritakan bahwa suatu kali mbah Ma’shum bertamu ke
seseorang dan mendapati tuan rumah sedang menyetel radio, tanpa di tunda beliau
langsung menegur tuan rumah itu. Mengapa selama itu mbah Ma’shum cenderung
mengharamkan, tidak lain karena radio yang ada lebih sering di ketahui
memperdengarkan lagu-lagu yang kurang senafas dengan syari’at islam atau bahkan
bertentangan.
WARISAN MBAH
MA’SHUM
Mbah Ma’shum adalah salah seorang yang sangat suka dan amat
kagum dengan bait-bait syair yang ada pada qashidatul burdah karangan
imam muhammad Al-Bushiri. Beliau menganggap bahwa syair-syair yang ada padaqashidatul
burdah itu sangat sempurna, baik dari sisi material maupun redaksional,
demikian ini juga pandangan ulama’. Melihat status imam Bushiri seperti itu, amat
wajar jika mbah Ma’shum dalam kehidupannya menganjurkan santrinya dan umat
islam untuk senantiasa membaca Al-Burdah, dan khususnya potongan
sya’ir seperti berikut:
هو
الحبيب الذي ترجى شفاعته لكلّ هول من الآهوال مقتحم
Pesan Mbah Ma’shum satu bait diatas supaya di baca setiap
hari 1000 kali tanpa terkait waktu. Maksudnya boleh di cicil, yang penting
selama satu hari berjumlah 1000 kali. Hanya saja, kepada santrinya beliau
menyuruh membacanya setiap habis shalat maghrib.
Mbah Ma’shum ketika memimpin istighotsah beliau
membaca potongan sya’ir al-burdah:
يَا
أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُولِ
الحَاد ث العَمَمِ
Sya’ir Al-Burdah tersebut di baca sebanyak kurang
lebih 80 kali.
Selain hal-hal tersebut di atas, beliau juga sangat suka
dengan Qashidatul Munfarijah dan sering membacanya dengan didampingi
mbah Nuri
قَدْ
اذَنَ لَيْلُكِ بِالْبَلَجِ
|
إِشْتَدّي
أَزْمَةُ تَنْفَرِجِى
|
حَتَّى
يُغْشَهُ أبو السُّرج
|
وَظَلَا
مُ اللَيْلِ لَهُ سُرُجٌ
|
فَإِذا
جاء الإبانُ تَاجي
|
وَسَحَا
بُ الخَيْرِ لَهُ مَطَرٌ
|
لِسُرُورِ
الأنْفُسِ والمُهَجِ
|
وفوايد
مَولانَا جُمَلٌ
|
MBAH MA’SHUM WAFAT
Kesehatan mbah Ma’shum turun drastis, terhitung
sejak tanggal 14 Robi’ul Awal 1392 H atau 28 April 1972, jam 2 siang. Hal ini
terjadi selama beberapa bulan, tepatnya hingga September. Pada tanggal 17
September 1972, atas inisiatif dari subhan ZE, mbah Ma’shum di bawa ke rumah sakit
dr.Karyadi semarang, selama 10 hari, dia diobati di sana, dibawah pengawasan
dr. Soetomo, dr. Harjono (seorang ahli penyakit dalam) dan dr.
Chamidun.
Hampir satu bulan setelah keluar dari rumah sakit tepatnya
pada hari jum’at, tanggal 12 Ramadhan 1932 H, atau tanggal 20 oktober 1972 M,
dalam keadaan di papah, beliau masih menyempatkan diri untuk shalat jum’at di
masjid jami’ lasem. Hari itu, adalah hari sekaligus shalat jum’at terakhir
baginya, beliau shalat jum’at di dalam mobil yang di parkir di halaman masjid.
Setelah shalat jum’at, beliaupun kembali ke ndalem dan akhirnya wafat
pada hari itu, jam 2 siang. Beliau pernah dhawuh, jika nanti wafat
supaya makamnya di buat seperti makamnya Habib Ahmad bin Thalib bin Abdullah
Pekalongan.
Segenap anggota keluarga dan para kiai, para alumni, serta
para wali santri, yang berada di luar lasem segera menjadwalkan diri untuk
pergi ke lasem guna memberikan penghormatan terakhir kepadanya.
Pada hari juma’t itu juga, sekitar pukul 16.00, jenazah mbah
Ma’shum di mandikan oleh beberapa orang, keesokan harinya, sabtu tanggal 13
Ramadhan 1932 H/20 Oktober 1972 M, jenazah di makamkan di pemakaman masjid
jami’ lasem, jam 14.30.
SILSILAH MBAH
MA’SHUM
1.
Kanjeng Nabi Muhammad
2.
Sayyidah Fathimah
3.
Sayyid Husain
4.
Ali Zainal Abidin
5.
Muhammad Al-Baqir
6.
Ja’far As-Shodiq
7.
Ali Ar- Ridho
8.
Ahmad Muhajir
9.
Abdullah
10. Alwi
11. Muhammad
12. Alwi
13. Muhammad
14. Ali
15. Alwi
16. Abdul Malik
17. Mbah Ahmad
18. Abdul Karim
19. Mbah Zaid
20. Syaikh Jarum
21. Sayyid Muzaid
22. Sunan Sunongko
23. Sunan Jejuruk
24. Abdurrahman (sultan Minangkabau)
25. Ainul Yaqin (Sunan Giri)
26. Maulana Ishaq
27. Maulana Ibrahim
28. Jamaluddin
29. Ahmad Syah
30. Abdullah
Khan
31. Abdul Malik
32. Mbah Ma’shum