Istilah-istilah dalam ke-NU-an
Struktur Pengurus
1.
Pengurus Besar (tingkat
Pusat).
2.
Pengurus Wilayah (tingkat
Propinsi), terdapat 33 Wilayah.
3.
Pengurus Cabang (tingkat
Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar
negeri, terdapat 439 Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
4.
Pengurus Majlis Wakil
Cabang / MWC (tingkat Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis Wakil Cabang.
5.
Pengurus Ranting (tingkat
Desa / Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting.
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap
kepengurusan terdiri dari:
1.
Mustasyar (Penasihat)
2.
Syuriyah (Pimpinan
tertinggi)
3.
Tanfidziyah (Pelaksana
Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1.
Syuriyah (Pimpinan
tertinggi)
2.
Tanfidziyah (Pelaksana
harian)
Keanggotaan berbasis di ranting dan di cabang untuk cabang
istimewa.
1.
A’wan: Bagian
dari syuriah yang bertugas membantu tugas rais, yang terdiri atas
sejumlah ulama terpandang. A’wan adalah bentuk jamak dari ‘awn yang
secara bahasa berarti bantuan.
2.
Hadhratusy Syaikh: Sebutan
kepada seorang ulama sebagai pengakuan atas keluasan ilmunya, kemuliaan
akhlaqnya, dan keistiqamahannya dalam berdakwah. Istilah Hadhratusy Syaikh di
NU merujuk kepada K.H Mohammad Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
3.
Jam’iyyah: Perkumpulan
yang memiliki ikatan dan aturan baku (organisasi). Berbeda dari jama’ah yang
merupakan perkumpulan yang bersifat lepas dan cair. Keduanya berakar dari
kata jama’a (berkumpul). Selain Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah
induk, ada beberapa badan otonom NU yang juga memakai nama jam’iyyah, seperti Jam’iyyah
Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdhiyyah (JATMAN) yang menaungi
para pengikut thariqat yang mu’tabar; dan Jam’iyyatul Qurra’ wal
Huffazh (JQH) yang mengurus pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
pengembangan tradisi penghafalan dan seni membaca Al-Qur’an.
4.
Katib: Penulis
atau juru catat, berasal dari kata ‘kataba’ (menulis). Dalam NU,
istilah katib hanya diperuntukkan bagi sekretaris syuriah. Sementara itu, dalam
tanfidziah digunakan istilah sekretaris.
5.
Khittah: Visi
dasar organisasi NU yang dirumuskan pada awal pendiriannya pada tahun 1926,
yakni sebagai organisasi sosial keagamaan yang berjuang di ranah dakwah,
sosial, dan pendidikan. Kata khiththah berasal dari
kata ‘khaththa(menggaris).
6.
Lajnah: Panitia,
komisi, lembaga, atau komite yang secara struktural bertanggung jawab kepada
NU. Berasal dari kata ‘lajanah’ yang berarti mengaduk, merekatkan.
Ada beberapa lajnah dalam NU, yaitu: Lajnah Falakiyyah, bertugas
menangani hal-hal yang berkaitan dengan bidang ilmu falak (astronomi); Lajnah
Bahtsul Masa’il (LBM), bertugas membahas, mengkaji, dan memutuskan berbagai
masalah keagamaan, dengan bersandar pada pandangan ulama dan kitab yang
mu’tabar; Lajnah At-Ta’lif wan Nasyr, menangani penerbitan karya dan
fatwa ulama NU, kegiatan muktamar, dan lain-lain; dan Lajnah Awqaf, yang
menangani harta wakaf baik dari anggota maupun simpatisan NU. Selain lajnah,
ada juga lembaga, seperti Lakpesdam, LP Ma’arif dan Lesbumi, dan badan otonom,
seperti Anshor, Fatayat, Muslimat, IPNU, dan IPPNU, yang secara struktural
lebih mandiri.
7.
(Al-)Muhafazhah ‘alal
qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah : Prinsip dasar ulama NU yang
bermakna, “Berpegang teguh pada pendapat terdahulu yang baik, seraya mengambil
pendapat yang baru yang jauh lebih baik”. Dengan dasar kaidah itu, NU
mempertahankan tradisi salafiyyahnya, namun tidak alergi terhadap pendapat dan
interpretasi keagamaan modern yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits,
dan ijma’ ulama salaf.
8.
Mustasyar: Dewan
penasihat syuriah yang terdiri atas ulama sepuh NU, seperti K.H M. Zen Syukri,
K.H Idris Marzuki Lirboyo, dan Tuan Guru Badruddin Turmudzi. Mustasyar berasal
dari kata ‘istasyara’ yang berarti meminta petunjuk.
9.
Qanun Asasi : Garis-garis
dasar ideologi NU yang disusun oleh Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ ari. Intinya,
jam’iyyah NU berpegang kepada madzhab Asy’ariyah (pengikut Syaikh Abul Hasan
Ali bin Ismail Al-Asy’ari) dan Maturidiyyah (pengikut Abu Manshur Muhammad bin
Muhammad Al-Maturidi) dalam beraqidah; pendapat ulama madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i,
dan Hanbali dalam berfiqih; dan pendapat Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam
Al-Ghazali dalam bertasawuf.
10. Rabithah Al-Ma’ahid Al-Islamiyyah (RMI) :
Perkumpulan pesantren NU adalah salah satu badan pelaksana kebijakan NU dalam
bidang kepesantrenan. Rabithah berasal dari kata ‘rabatha’ yang
berarti mengikat, sedangkan Ma’ahid adalah jamak dari kata‘ma’had’ yang
bermakna pondok pesantren.
11. Rais Akbar : Secara bahasa bermakna pemimpin
besar, jabatan tertinggi dalam struktur kepengurusan Syuriyyah NU saat pertama
kali didirikan. Jabatan ini hanya pernah diduduki oleh Hadhratusy Syaikh
Muhammad Hasyim Asy’ari. Sepeninggal Mbah Hasyim, istilah rais akbar diganti
dengan rais ‘am yang berarti ketua umum.
12. Syuriah : Berasal dari kata ‘syawara’ yang
berarti bermusyawarah. Syuriah ialah badan musyawarah pengambil keputusan
tertinggi dalam NU, semacam dewan legislatif dalam negara. Syuriah dipimpin
oleh seorang rais ‘am.
13. Tanfidziah : Berasal dari
kata ‘naffadza’ yang berarti melaksanakan. Tanfidziah ialah badan pelaksana
harian syuriah. Pemimpin tertinggi Tanfidziyyah tidak menggunakan istilah rais
‘am, melainkan ketua umum.